Pages

10.29.2009

MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I

MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I Madzhab Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal [1]- sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain. Dalam kenyataannya, sejarah mencatat bahwa madzhab Syafi’i berkembang dalam beberapa phase : Phase pertama : Yang harus diperhatikan, bahwa sangat tidak dibenarkan seseorang menga takan “Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i “ kecuali dia tahu betul bahwa ulama Syafi’i dengan jelas mengatakannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan mengetahui ulama-ulama Syafi’i serta kedudukan dan peringkatnya, yang pada gilirannya juga MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I I Adalah suatu “keharusan” bagi setiap penulis untuk “menjaga kebenaran ilmiah “, dalam arti : harus bertanggung jawab atas kebenaran dalam menukil penda pat seseorang, terutama dalam penulisan masalah-masalah fiqh. Dan dari sini, merupakan keharusan juga mengetahui istilah-istilah yang menjadi kesepakatan dalam suatu madzhab. II Yang harus diperhatikan, bahwa sangat tidak dibenarkan seseorang menga takan “Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i “ kecuali dia tahu betul bahwa ulama Syafi’i dengan jelas mengatakannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan mengetahui ulama-ulama Syafi’i serta kedudukan dan peringkatnya, yang pada gilirannya juga harus mengetahui kitab-kitab pokok dan kitab-kitab pegangan, sebab dalam madzhab Syafi’i banyak ulama yang mengarang kitab-kitab dan banyak terjadi perbedaan pendapat, sehingga kita harus bisa memilah-milah mana yang merupakan pendapat madzhab, mana yang merupakan pendapat pribadi, serta mana yang kuat dan mana yang lemah. III Madzhab Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal [1]- sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain. Dalam kenyataannya, sejarah mencatat bahwa madzhab Syafi’i berkembang dalam beberapa phase : Phase pertama : Masa-masa dasar . Phase kedua : Masa-masa perpindahan (pancaroba). Phase ketiga : Masa-masa pemurnian . Phase keempat : Masa-masa akhir/ketetapan . I- PHASE DASAR : Pada abad pertama dan kedua hijriyah adalah masa lahir dan tumbuhnya madzhab-madzhab Fiqh. Mazhab Hanafi adalah madzhab yang pertama lahir, diikuti madzhab Maliki, kemudian disusul madzhab Syafi’i yang diotaki oleh Imam al-Syafi’i. Dan kehadiran serta pemikiran madzhab Syafi’i tidak bisa dilepaskan dari dua madzhab pendahulunya, sebab Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik, kemudian walaupun Imam Syafi’i tidak berguru langsung pada Imam Abu Hanifah[2], tetapi beliau telah berhasil menyerap ilmu-ilmu madzhab Hanafi melalui “arsitek madzhab Hanafi” yang juga murid Imam Abu Hanifah : Imam Muhammad bin Hasan. Dalam kenyataannya, keuletan Imam Syafi’i dalam berijtihat, telah me lahirkan dua istilah yang terkenal dengan sebutan ‘Qoul Qodim’ dan ‘Qoul-Jadid’ ; dua istilah yang juga dua phase bagi perkembangan madzhab Syafi’i dizaman pendirinya. Dan munculnya dua istilah tersebut, adalah bukti bagi perkembangan ilmu Imam Syafi’i, yang sekaligus juga merupakan bukti dari keinginan Imam Syafi’i untuk menetapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar. Adapun yang dimaksud dengan ‘Qoul-Qodim’ : adalah istilah ulama-ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang‘Qoul-Jadid’, adalah istilah ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau di Mesir Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid.[3] Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi’i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi’i di Mesir. Menurut Ibn Hajar ( 974 H), Qoul-Qodim adalah semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sebelum masuk Mesir. Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qoul-Qodim hanya pendapat beliau ketika beliau masih berada di Baghdad, dengan begitu masa antara Baghdad dan Mesir termasuk Qoul-Jadid. Dan sebagian lagi merinci, dengan mengatakan bahwa masa antara Baghdad dan Mesir yang awal disebut juga Qoul-Qodim, dan yang kemudian dikatagorikan Qoul-Jadid.[4] Dan diantara ketiga pendapat tersebut, yang pertamalah yang paling kuat yang menjadi pilihan mayoritas Ulama Syafi’iyyah, diantaranya Imam Romli.[5] Adapun perowi Qoul-Qodim adalah : Ahmad bin Hambal ( 241 H) ; Al-Za’faroni ( Hasan bin Muhammad : 260 H); Al-Karobisyi ( 245 H./248H.); Abu Tsur (Ibrahim bin Kholid : 240 H). Sedangkan perowi Qoul-Jadid : Al-Buwaithi (231 H); Al-Muzani (264 H); Robi’ Al-Murodi (270 H); Robi’ Al-Jizi (256 H); Yunus bin Abd. A’la (264 H); Abdullah bin Zubair Al-Makki (219 H); Muhammad bin Abdullah bin Abd. Hakam dan Harmalah (243 H). Tiga yang terdahulu adalah yang paling banyak andilnya dalam penyebaran dan pengembangan madzhab Syafi’i, dan diantara ketiganya, Robi’ Al-Muradi lah yang paling banyak meriwayatkan perkataan Imam Syafi’i, dan itu diakui sendiri oleh Imam Syafi’i dalam sabdanya: “Robi’ adalah perowi saya”.[6] KEDUDUKAN QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID DALAM MADZHAB. Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” [7], dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi : 1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.[8] 2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab. 3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah ( المتأخرون ) setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid [9], kalaupun ada ulama Syafi’iyyah (المتفد مون ) yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).[10] Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang[11]. Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.[12] II- PHASE PERPINDAHAN / PANCAROBA. Imam Syafi’i wafat tahun 204 H. dengan meninggalkan pemikiran yang tetap selalu dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya, dan dari tangan beliau lahir tokoh-tokoh terkenal yang melanjutkan pemikiran beliau dibawah komando Al-Buwaithi, dan beliau inilah ‘pewaris tahta’ madzhab syafi’i sebagaimana di sampaikan oleh Imam Syafi’i : “Tak seorangpun yang berhak menempati kedudukan saya selain Yusuf bin Yahya (yakni Al-Buwaithi), dan tak seorangpun dari murid-murid saya yang lebih alim darinya.[13] Dari murid-murid Imam Syafi’i –terutama 6 perowi- pemikiran Syafi’i di lanjutkan dan dikembangkan, dan pada kenyataannya murid-murid Imam Syafi’i tersebut bukan saja sekedar menyampaikan dan mengajarkan pendapat Imam Syafi’i pada generasi penerusnya, tapi kadang-kadang mereka juga berijtihad sendiri, dan kadang-kadang ijtihad mereka berlawanan/berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i.[14] Seperti Al-Muzani, Abu Tsur - juga generasi penerusnya (seperti ibn Mundzir (319 H) - tetap bermadzhab Syafi’i, sementara itu di sebagian masalah berijtihad sendiri yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i, atau sesuai dengan Qoul-Qodim.[15] Karenanya Imam Al-Haromain (478 H) menjelaskan : “Apabila Muzani menyendiri (berpendapat yang berbeda dengan Imam Syafi’i ), maka beliau adalah bermadzhab sendiri, dan jika pendapatnya sesuai dengan Imam Syafi’i maka ijtihadnya lebih utama diikuti dari pada takhrijnya ulama Syafi’iyyah yang lainnya.[16] Yang perlu dicatat, bahwasanya yang paling berjasa dalam penyebaran madzhab Syafi’i di Baghdad adalah Al-Anmaathi - murid Robi’ dan Muzani, perowi qoul jadid-, kemudian muridnya (Ibnu Suraij /306 H.) yang meneruskan penyebaran madzhab Syafi’i kemana-mana.[17] Seperti juga Abu Zur’ah adalah orang yang paling berjasa bagi penyebaran madzhab syafi’i di Damaskus.[18] Sementara Al-Qoffaal Al-Kabiir Al-Syasyi –murid ibn Suraij- adalah perin tis madzhab Syafi’i di balik sungai Saihun dan Jaihun[19]. Sedangkan tersebarnya madzhab Syafi’i di Maroo dan Khuroosaan adalah hasil kerja ‘Abdan bin Muhammad Al-Maruzi (293 H). Dan yang pertama kali memperkenalkan madzhab Syafi’i di Isfirooyin adalah Abu Awaanah (316 H.) –salah seorang murid Robi’ dan Muzani-. Demikianlah mulai tersebarnya madzhab Syafi’i di segala penjuru dunia, sampai akhirnya muncullah syekh Abu Hamid Al-Isfirooni (406 H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Al-Mawardi (450 H), Qodli Abu Thoyyib Al-Thobary (450 H), Qodli Abu Ali Al-Bandaniijy( 425 H), Al-Mahaamily (424 H) dan lain-lain yang membukukan masalah Furu’iyah dalam madzhab Syafi’i. Dan kelompok ini disebut kelompok Al-Iroqiyin, kelompok inilah satu-satunya yang menjadi panutan bagi pendapat madzhab Syafi’i, sementara itu dibagian bumi yang lain muncullah Al-Qoffal Al-Shoghir Al-Maruzi (417H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Abu Muhammad Al-Juwaini (430 H), Al-Furooti (461 H), Al-Qodhi Husain (462 H), Abu Ali Al-Sinji (427 H), Al-Mas’udy, Muhammad ibn Abdul-Malik (423 H) dan lain-lain yang juga membukukan Fiqh Syafi’i, dan kelompok ini disebut kelompok Al-Khurosaaniyyin, yang dikenal juga dengan sebutan kelompok Al-Maroowiz. Sampai di sini, semua ilmu madzhab Syafi’i bersumber dari dua kelompok ini, dan apabila dua kelompok ini sepakat/ittifaq maka itulah madzhab Syafi’i yang paling mu’tamad.[20] Adapun kelebihan dan keistimewaan dua kelompok tersebut adalah sebagaimana yang digambarkan oleh imam Nawawi : “Ketahuilah bahwasanya riwayat kelompok Iroqiyyin secara umum lebih tepat, lebih akurat dan lebih bisa dipertanggung-jawabkan dalam menukil nash-nashnya Imam Syafi’i dan qoidah-qoidah madzhabnya di banding dengan riwayat kelompok Al-Khuroosaaniyin; sedang kelompok Al-Khurosaniyyin secara umum lebih baik dalam segi penjabaran, penganalisaan dan runtutannya.[21] Kemudian lahirlah sejumlah ulama yang tidak terikat pada ketentuan dua kelompok tersebut, seperti Al-Rowiyaani (502 H) –pengarang Al-Bahru- , Al-Syaasyi (505 H) –pengarang Al-Hilyah-, Ibn Al-Shobbagh (477 H) yang asalnya adalah kelompok Iroqiyyin; dan Al-Mutawally (448 H) – pengarang Al-Tatimmah-, Imam Al-Haromain, Al- Gozali (505H) dan lain-lain dari kelompok Al-Khurosaaniyyun yang keluar dari ketentuan dua kelompok tersebut diatas.[22] Kemudian muncul generasi berikutnya yang mencoba mempersatukan dua kelompok diatas –Al-Iroqiyun dan Al-Khurosaaniyun- yang di motori oleh dua ulama terkenal: Al-Rofi’i (623 H) dan An-Nawawi (676 H), yang sangat besar andilnya bagi penjernihan madzhab Syafi’i dan qoidah-qoidahnya.Dengan munculnya dua ulama tersebut, perkembangan madzhab Syafi’i memasuki babak baru, “Phase Pemurnian Madzhab”. [1] Dalam kenyataannya, madzhab-madzhab Fiqh banyak sekali jumlahnya, hanya saja yang mashur dan tumbuh sampai saat ini ada 4 madzhab, itupun dari kelompok SUNNY. [2] Imam Abu Hanifah wafat ditahun dimana Imam Syafi’I dilahirkan (tahun 150 H). [3] Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad th.198 H. dan masuk Mesir th. 199 H; ada pendapat bahwa Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad th. 199 H. dan masuk Mesir th. 200 H. Lihat:Al-Majmu’:1/9; Miftah as-Sa’adah : 2/225. [4] Thuhfah : 1/554; Mughnil Muhtaj: 1/12; Hasyisah Syarqowi : 1/54. [5] Nihayah : 1/50. [6] Thobaqot Fuqoha’ (al-Syirozi) : 97-98; Hasyiyah Syarwani ‘ala Al-Thuhfah 1/54; Al- Majmu’ : 1/68; Mugnil Muhtaj 1/12. [7] Al-Madzhab Inda Syafi’iyah, 29. [8] Al-Majmu’ 1/66; Al-Tuhfah 1/54; An-Nihayah 1/50. [9] Al-Majmu’ 1/66; Hasyiyah Syarwani 1/54. [10] Al-Majmu’ 1/66. [11] Nuzhah Musytaq Syarh A-Lumma’ 817; Al-Majmu’ 1/67. [12] Al-Majmu’ 1/68-69. [13] Thobaqot Fuqoha’ (Asy-Syirozi) : 98. [14] Ahmad bik Al-Husaini, Daf’ul kholayat, 4. [15] Al-Husaini, Thobaqot Asy-Syafi’iyyah : 21. [16] Al-Majmu’ : 1/72. [17] Thobaqot Fuqoha’ : 109; Al-A’lam bit-Taubih : 190. [18] Al-A’lam bit-Taubih :189. [19] Al-A’lam bit-Taubih :189. [20] Daf’u Al-Khoyaalaat : 5. [21] Al-Majmu’ : 1/69. [22] Thobaqot Al-Syafi’iyah : 142-143.
Read more......

Khutbah : Piagam Madinah

Dalam khutbah Jum’at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Materi khutbah tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita. TOLERANSI AGAMA DENGAN BERKACA KEPADA PIAGAM MADINAH Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.A Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ ِللهِ الْعَزِيْزِ الْغَفُوْرِ، اَلَّذِيْ جَعَلَ فِي اْلإِسْلاَمِ الْحَنِيْفِ الْهُدَي وَالنُّوْرِ، اَلَّذِيْ قَالَ: ] وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ[، نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَي حَمْدَ مَنْ نَظَرَ فَاعْتَبَر، وَكَفَّ عَنِ الْمَسَاوِيءِ وازْدَجَر، وعَلِمَ أَنَّ الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِدَارِ مَقََرٍّ، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَلَقَ الْخَلاَئِقَ وَأَحْكَامَهَا، وَقَدَّرَ اْلأَعْمَارَ وَحَدَّدَهَا، وَهُوَ بَاقٍ لاَ يَفُوْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَمَرَ بِتَذْكِيْرِ الْمَوْتِ وَالْفَنَاءِ، وَاْلاِسْتِعْدَادِ لِيَوْمِ الْبَعْثِ وَالْجَزَاءِ. اَللَّهُمَّ صَلِّيْ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمَرْسَلِيْنَ وَعَلَي آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ اْلأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt.... Pada kesempatan yang berbahagia ini, di hari jumat yang sangat cerah dan damai ini, izinkanlah saya berwasiat, baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Karena hanya dengan bekal iman dan takwa sajalah, kita akan selamat, baik di dunia, maupun di akhirat. Dalam khutbah Jum’at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Materi khutbah tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita. Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Konsep Toleransi dalam Islam Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh.… Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl). Beberapa prinsip ajaran Islam ini merupakan sesuatu yang qath'iy, ia tidak bisa dianulir atau dibantah dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyât, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi rentang waktu dan dimensi tempat (shâlihatun likulli zamânin wa makânin). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran ini bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama. Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah mengajak kepada prinsip-prinsp ajaran Islam ini. Rasulullah Saw bersabda: قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (رواه البخاري، الترمذي، أحمد، دارمي) “Sampaikanlah apa yang datang dariku walau pun hanya satu ayat”. (HR. Bhukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi) Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman: لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256) “Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256) Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam. Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6) “Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku” Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka. Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû). يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13) “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13). Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam? Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99: وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ. "Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong. Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman: وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29) “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhâj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghâyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washîlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islâm murûnatun fi l-wasâ`il wa tsabâtun fi l-ghâyât (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri). Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107) Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan. Toleransi Merujuk Piagam Madinah Hadirin sidang Jumat yagn dirahmati oleh Allah Swt... Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama. Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya. Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw". Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat. Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama. Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi: Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”. Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka". Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul. Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.'' Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi. Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam. Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh... Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama. Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. Khutbah Kedua إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتًهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛ Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh... Bercermin dari Piagam Madinah dan konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya. Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini. Karena itu, perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim. Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan non-muslim. Sebab jika hanya di mulai dari satu sisi, bagai orang bertepuk sebelah tangan. Semua pihak hendaknya mau menyadari dan urun rembuk demi masalah yang lebih besar dan asasi. Di antara langkah riil yang perlu kita tempuh adalah, mempersiapkan dai atau misionaris ‘militan’ yang bertugas mendistribusikan secara sinambung cita-cita toleransi beragama pada tingkat praktis di level akar rumput. Para elite intelektual yang suka gembar-gembor menyanyikan lagu “toleransi dan pluralisme" harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama. Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota, melainkan justru dapat tembus pada masyarakat di bawah. Ini karena disadari, bahwa problem toleransi beragama tidaklah bersemayam pada diri para intelektual, tetapi malah di tingkat bawah. Sungguh, betapa pun ‘seksi’ dan canggihnya sebuah pemikiran dari sudut teologis-filosofisnya, jika tidak dapat diimplementasikan secara praktis, maka tidaklah banyak manfaatnya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah materi kampanye mesti diarahkan terutama pada bidang-bidang mu'amalah diniyah. Artinya, kampanye menyangkut toleransi beragama sejauh mungkin dihindari dari perbincangan tentang perbedaan ajaran masing-masing agama. Perbedaan pada wilayah itu memang tidak akan pernah menemukan titik temu karena dari sananya telah terformat secara demikian. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ! Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya) di 00:57
Read more......

10.07.2009

MAS Alwashliyah Pakam Bantu Korban Bencana Sumbar

Musibah yang menimpa Sumatera Barat sangat memilukan hati. Begitu banyak korban, baik jiwa maupun harta benda. Dengan segala keikhlasan hati, para siswa MAS Alwashliyah Desa Pakam Kecamatan Medang Deras turut menyumbangkan sedikit dari apa yang mereka miliki kepada korban bencana alam gempa bumi tersebut. Bantuan tersebut disalurkan melalui Kantor Departemen Agama Asahan, sumbangan sebesar Rp. 421.000,- Para siswa berharap agar bantuan ini dapat disampaikan kepada yang berhak menerimanya. sehingga duka yang dialami para korban musibah sedikit dapat terobati. Para siswa juga berharap seluruh pihak dan masyarakat dapat juga kiranya membantu dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing.
Read more......

10.05.2009

Ilmu Faraidh

Ilmu Pembagian Pusaka yang disebut dengan Ilmu Faraidh adalah ilmu yang sangat urgen sekali dalam mewujudkan kehidupan masyarakat damai. Karena dengan ilmu ini pertikaian dalam sebuah keluarga dapat diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan peninggalan ahli waris. kadangkala akibat pembagian peninggalan ahli waris, banyak keluarga yang menjadi saling bermusuhan dan hubungan silaturrahim memnjadi putus.
Oleh sebab itu saya mencoba menuliskan kembali kitab Ilmu Faraidh yang merupakan karya seorang ulama besar yang berasal dari Sumatera Utara. Dalam penulisan ulang ini saya belum mendapatkan izin dari pihak yang berkaitan dengan hak penulis. Namun jika ada yang keberatan saya bersedia menghapuskan postingan ini.
lanjutan dari Ilmu Pembagian pusaka................. Bagian Kedua


Ta'rif:
Ilmu Faraidh ialah : Peraturan mengenai pembagian pusaka dan peraturan-peraturan berhitung mengenai cara pembagian pusaka supaya diketahui kadar pusaka yang menjadi pendapatan masing-masing yang berhak.
Menurut ta'rif tersebut, ilmu faraidh itu terpadu dari dua bagian:

Pertama : Peraturan mengenai pembagian pusaka.misalnya peraturan penentuan orang-orang yang menjadi ahli waris, peraturan penentuan pendapatan masing-masing ahli waris, dan lain sebagainya.
Kedua : Peraturan-peraturan berhitung mengenai cara pembagian pusaka untuk mengetahui kadar pusaka yang menjadi pendapatan masing-masing yang berhak. Misalnya peraturan mencari asal masalah, yaitu peraturan menyamakan angka penyebut beberapa buah pecahan, seperti menyamakan penyebut 1/4 dengan 1/6 menjadi 3/12 dan 2/12 dan lain-lain sebagainya, supaya dengan demikian dapat diketahui kadar pusaka yang menjadi pendapatan masing-masing ahli waris.

Read more......

Ilmu Faraidh

Ilmu faraidh atau ilmu pembagian pusaka adalah ilmu yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. karena dengan ilmu ini kehidupan bisa aman dan damai, terutama dalam kehidupan keluarga. ketika keluarga tersebut taat azas terhadap ilmu faraidh dan konsisten melakukannnya, maka keadilanlah yang akan diperoleh. disini saya ingin kebali memberikan tulisan kepada pembaca sebuah karya ulama besar yang berasal dari Sumatera Utaraa, Ustadz Almarhum Arsyad Thalib Lubis. Beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul "Ilmu Pembagian Pusaka" yang insya Allah akan ditampilkan secara berseri/bertahap. Izin untuk ini belumdiperoleh. Kalau ada yang berkeberatan, saya akan menghapusnya dari halaman blog ini. Ilmu Pusaka Oleh : Arsyad Thalib Lubis Pendahuluan Nama : Ilmu Pembagian Pusaka dinamakan ilmu "Faraidh". Perkataan Faraidh menunjukkan banyak (jamak). Mufradnya "faridhah"artinya satu ketentuan" Maka "Faraidh" artinya "beberapa ketentuan". Ilmu pembagian pusaka dinamakan ilmu faraidh karena ia menerangkan ketentuan ketentuan pusakanyang jadi pendapatan ahli waris............. Insya Allah Bersambung...
Read more......

10.01.2009

Keutamaan tarawih

KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH

Dari Ali Bin Abi Thalib, dia berkata:”Nabi Muhammad saw pernah ditanya mengenai keutamaan-keutamaan shalat tarawih dalam bulan ramadhan. Bersabda beliau:”Dalam malam ke 1 seorang mukmin akan keluar dari dosanya seperti hari ibunya melahirkannya. Dalam malam ke 2 diampunkan dia dan kedua orangtuanya jika keduanya beriman. Dalam malam ke 3 dan malaikat memanggilnya dari bawah ‘Arasy: “Mulailah beramal tentu Allah akan mengampuni dosamu yang telah lalu”. Dalam malam ke 4 dia akan mendapat pahala seperti membaca Taurat, Injil, Zabur dan al-Furqan. Dalam malam ke 5 Allah swt memberinya pahala seperti orang yang mengerjakan shalat di Masjidil Haram, di Masjid Nabawi dan di Masjidil Aqsha. Dalam malam ke 6 Allah memberinya pahala orang yang berthawaf di Baitul Ma’mur dan memohonkan ampun untuknya semua debu dan batu. Dalam malam ke 7 seakan-akan dia telah berjumpa Nabi Musa as dan membelanya melawan Fir’aun dan Haman. Dalam malam ke 8 Allah swt akan memberinya seperti apa yang telah diberikan kepada Nabi Ibrahim as. Dalam malam ke 9 seakan-akan dia telah beribadah kepada Allah swt seperti ibadah Nabi Muhammad Saw. Dalam malam ke 10 Allah swt menganugerahkan kepadanya dua buah kebaikan dunia dan akhirat. Pada malam ke 11 dia keluar dari dunia kelak seperti dia dilahirkan ibunya. Pada malam ke 12 dia akan datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan purnama. Malam ke 13 dia akan datang dihari kiamat dengan keadaaan aman dari segala sesuatu yang menyusahkan. Dalam malam ke 14 para malaikat akan datang bersaksi bahwa dia benar-benar telah melaksanakan shalat tarawih, lalu tidaklah Allah menghisbnya dihari kiamat. Dalam malam ke 15 semua malaikat, pemikul ‘arasy dan pemikul Kursy mendoakan kepadanya. Pada malam ke 16 Allah menuliskan untuknya kebebasan selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke syurga. Pada malam ke 17 dia akan diberi pahala seperti pahala para Nabi. Dalam malam ke 18 malaikat memanggilnya: “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah telah ridha kepadamu dan kedua orangtuamu.” Pada malam ke 19 Allah mengangkat derajatnya di surga Firdaus. Dalam malam ke 20 dia diberi pahala orang-orang mati syahid dan para shalihin. Dalam malam ke 21 Allah membangunkan untuknya sebuah gedung dari nur (cahaya) di surga. Pada malam ke 22 dia akan datang dihari kiamat dengan aman dari segala kesusahan dan kesedihan. Dalam malam ke 23 Allah membangun untuknya sebuah kota di surga. Dalam malam ke 24 dia akan memiliki dua puluh empat doa yang dikabulkan. Dalam malam ke 25 Allah akan menghilangkan siksa kubur dari dirinya. Dalam malam ke 26 Allah akan mengangkat pahalanya selamaa 40 tahun. Dalam malam ke 27 dia akan lewat di shirat (jembatan) dihari kiamat seperti kilat yang menyambar. Dalam malam ke 28 Allah akan mengangkat seribu derajat baginya disurga. Dalam malam ke 29 Allah memberinya pahala seribu kali ibadah haji yang mabrur (diterima). Dan dalam malam ke 30 Allah berfirman: “Hai hambaKu, makanlah dari buah-buahan surga, mandilah dari air sungai salsabil dan minumlah dari telaga kautsar, Aku adalah Tuhanmu dan Engkau adalah hambaKu. (Majalis)

Dikutip dari “Durratun Nashihin : Utsman bin Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khaubawy”.

Diposkan oleh : Japar S.Ag.

Read more......