Pages

10.29.2009

MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I

MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I Madzhab Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal [1]- sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain. Dalam kenyataannya, sejarah mencatat bahwa madzhab Syafi’i berkembang dalam beberapa phase : Phase pertama : Yang harus diperhatikan, bahwa sangat tidak dibenarkan seseorang menga takan “Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i “ kecuali dia tahu betul bahwa ulama Syafi’i dengan jelas mengatakannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan mengetahui ulama-ulama Syafi’i serta kedudukan dan peringkatnya, yang pada gilirannya juga MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI’I I Adalah suatu “keharusan” bagi setiap penulis untuk “menjaga kebenaran ilmiah “, dalam arti : harus bertanggung jawab atas kebenaran dalam menukil penda pat seseorang, terutama dalam penulisan masalah-masalah fiqh. Dan dari sini, merupakan keharusan juga mengetahui istilah-istilah yang menjadi kesepakatan dalam suatu madzhab. II Yang harus diperhatikan, bahwa sangat tidak dibenarkan seseorang menga takan “Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i “ kecuali dia tahu betul bahwa ulama Syafi’i dengan jelas mengatakannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan mengetahui ulama-ulama Syafi’i serta kedudukan dan peringkatnya, yang pada gilirannya juga harus mengetahui kitab-kitab pokok dan kitab-kitab pegangan, sebab dalam madzhab Syafi’i banyak ulama yang mengarang kitab-kitab dan banyak terjadi perbedaan pendapat, sehingga kita harus bisa memilah-milah mana yang merupakan pendapat madzhab, mana yang merupakan pendapat pribadi, serta mana yang kuat dan mana yang lemah. III Madzhab Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal [1]- sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain. Dalam kenyataannya, sejarah mencatat bahwa madzhab Syafi’i berkembang dalam beberapa phase : Phase pertama : Masa-masa dasar . Phase kedua : Masa-masa perpindahan (pancaroba). Phase ketiga : Masa-masa pemurnian . Phase keempat : Masa-masa akhir/ketetapan . I- PHASE DASAR : Pada abad pertama dan kedua hijriyah adalah masa lahir dan tumbuhnya madzhab-madzhab Fiqh. Mazhab Hanafi adalah madzhab yang pertama lahir, diikuti madzhab Maliki, kemudian disusul madzhab Syafi’i yang diotaki oleh Imam al-Syafi’i. Dan kehadiran serta pemikiran madzhab Syafi’i tidak bisa dilepaskan dari dua madzhab pendahulunya, sebab Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik, kemudian walaupun Imam Syafi’i tidak berguru langsung pada Imam Abu Hanifah[2], tetapi beliau telah berhasil menyerap ilmu-ilmu madzhab Hanafi melalui “arsitek madzhab Hanafi” yang juga murid Imam Abu Hanifah : Imam Muhammad bin Hasan. Dalam kenyataannya, keuletan Imam Syafi’i dalam berijtihat, telah me lahirkan dua istilah yang terkenal dengan sebutan ‘Qoul Qodim’ dan ‘Qoul-Jadid’ ; dua istilah yang juga dua phase bagi perkembangan madzhab Syafi’i dizaman pendirinya. Dan munculnya dua istilah tersebut, adalah bukti bagi perkembangan ilmu Imam Syafi’i, yang sekaligus juga merupakan bukti dari keinginan Imam Syafi’i untuk menetapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar. Adapun yang dimaksud dengan ‘Qoul-Qodim’ : adalah istilah ulama-ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang‘Qoul-Jadid’, adalah istilah ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau di Mesir Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid.[3] Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi’i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi’i di Mesir. Menurut Ibn Hajar ( 974 H), Qoul-Qodim adalah semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sebelum masuk Mesir. Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qoul-Qodim hanya pendapat beliau ketika beliau masih berada di Baghdad, dengan begitu masa antara Baghdad dan Mesir termasuk Qoul-Jadid. Dan sebagian lagi merinci, dengan mengatakan bahwa masa antara Baghdad dan Mesir yang awal disebut juga Qoul-Qodim, dan yang kemudian dikatagorikan Qoul-Jadid.[4] Dan diantara ketiga pendapat tersebut, yang pertamalah yang paling kuat yang menjadi pilihan mayoritas Ulama Syafi’iyyah, diantaranya Imam Romli.[5] Adapun perowi Qoul-Qodim adalah : Ahmad bin Hambal ( 241 H) ; Al-Za’faroni ( Hasan bin Muhammad : 260 H); Al-Karobisyi ( 245 H./248H.); Abu Tsur (Ibrahim bin Kholid : 240 H). Sedangkan perowi Qoul-Jadid : Al-Buwaithi (231 H); Al-Muzani (264 H); Robi’ Al-Murodi (270 H); Robi’ Al-Jizi (256 H); Yunus bin Abd. A’la (264 H); Abdullah bin Zubair Al-Makki (219 H); Muhammad bin Abdullah bin Abd. Hakam dan Harmalah (243 H). Tiga yang terdahulu adalah yang paling banyak andilnya dalam penyebaran dan pengembangan madzhab Syafi’i, dan diantara ketiganya, Robi’ Al-Muradi lah yang paling banyak meriwayatkan perkataan Imam Syafi’i, dan itu diakui sendiri oleh Imam Syafi’i dalam sabdanya: “Robi’ adalah perowi saya”.[6] KEDUDUKAN QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID DALAM MADZHAB. Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” [7], dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi : 1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.[8] 2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab. 3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah ( المتأخرون ) setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid [9], kalaupun ada ulama Syafi’iyyah (المتفد مون ) yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).[10] Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang[11]. Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.[12] II- PHASE PERPINDAHAN / PANCAROBA. Imam Syafi’i wafat tahun 204 H. dengan meninggalkan pemikiran yang tetap selalu dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya, dan dari tangan beliau lahir tokoh-tokoh terkenal yang melanjutkan pemikiran beliau dibawah komando Al-Buwaithi, dan beliau inilah ‘pewaris tahta’ madzhab syafi’i sebagaimana di sampaikan oleh Imam Syafi’i : “Tak seorangpun yang berhak menempati kedudukan saya selain Yusuf bin Yahya (yakni Al-Buwaithi), dan tak seorangpun dari murid-murid saya yang lebih alim darinya.[13] Dari murid-murid Imam Syafi’i –terutama 6 perowi- pemikiran Syafi’i di lanjutkan dan dikembangkan, dan pada kenyataannya murid-murid Imam Syafi’i tersebut bukan saja sekedar menyampaikan dan mengajarkan pendapat Imam Syafi’i pada generasi penerusnya, tapi kadang-kadang mereka juga berijtihad sendiri, dan kadang-kadang ijtihad mereka berlawanan/berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i.[14] Seperti Al-Muzani, Abu Tsur - juga generasi penerusnya (seperti ibn Mundzir (319 H) - tetap bermadzhab Syafi’i, sementara itu di sebagian masalah berijtihad sendiri yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i, atau sesuai dengan Qoul-Qodim.[15] Karenanya Imam Al-Haromain (478 H) menjelaskan : “Apabila Muzani menyendiri (berpendapat yang berbeda dengan Imam Syafi’i ), maka beliau adalah bermadzhab sendiri, dan jika pendapatnya sesuai dengan Imam Syafi’i maka ijtihadnya lebih utama diikuti dari pada takhrijnya ulama Syafi’iyyah yang lainnya.[16] Yang perlu dicatat, bahwasanya yang paling berjasa dalam penyebaran madzhab Syafi’i di Baghdad adalah Al-Anmaathi - murid Robi’ dan Muzani, perowi qoul jadid-, kemudian muridnya (Ibnu Suraij /306 H.) yang meneruskan penyebaran madzhab Syafi’i kemana-mana.[17] Seperti juga Abu Zur’ah adalah orang yang paling berjasa bagi penyebaran madzhab syafi’i di Damaskus.[18] Sementara Al-Qoffaal Al-Kabiir Al-Syasyi –murid ibn Suraij- adalah perin tis madzhab Syafi’i di balik sungai Saihun dan Jaihun[19]. Sedangkan tersebarnya madzhab Syafi’i di Maroo dan Khuroosaan adalah hasil kerja ‘Abdan bin Muhammad Al-Maruzi (293 H). Dan yang pertama kali memperkenalkan madzhab Syafi’i di Isfirooyin adalah Abu Awaanah (316 H.) –salah seorang murid Robi’ dan Muzani-. Demikianlah mulai tersebarnya madzhab Syafi’i di segala penjuru dunia, sampai akhirnya muncullah syekh Abu Hamid Al-Isfirooni (406 H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Al-Mawardi (450 H), Qodli Abu Thoyyib Al-Thobary (450 H), Qodli Abu Ali Al-Bandaniijy( 425 H), Al-Mahaamily (424 H) dan lain-lain yang membukukan masalah Furu’iyah dalam madzhab Syafi’i. Dan kelompok ini disebut kelompok Al-Iroqiyin, kelompok inilah satu-satunya yang menjadi panutan bagi pendapat madzhab Syafi’i, sementara itu dibagian bumi yang lain muncullah Al-Qoffal Al-Shoghir Al-Maruzi (417H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Abu Muhammad Al-Juwaini (430 H), Al-Furooti (461 H), Al-Qodhi Husain (462 H), Abu Ali Al-Sinji (427 H), Al-Mas’udy, Muhammad ibn Abdul-Malik (423 H) dan lain-lain yang juga membukukan Fiqh Syafi’i, dan kelompok ini disebut kelompok Al-Khurosaaniyyin, yang dikenal juga dengan sebutan kelompok Al-Maroowiz. Sampai di sini, semua ilmu madzhab Syafi’i bersumber dari dua kelompok ini, dan apabila dua kelompok ini sepakat/ittifaq maka itulah madzhab Syafi’i yang paling mu’tamad.[20] Adapun kelebihan dan keistimewaan dua kelompok tersebut adalah sebagaimana yang digambarkan oleh imam Nawawi : “Ketahuilah bahwasanya riwayat kelompok Iroqiyyin secara umum lebih tepat, lebih akurat dan lebih bisa dipertanggung-jawabkan dalam menukil nash-nashnya Imam Syafi’i dan qoidah-qoidah madzhabnya di banding dengan riwayat kelompok Al-Khuroosaaniyin; sedang kelompok Al-Khurosaniyyin secara umum lebih baik dalam segi penjabaran, penganalisaan dan runtutannya.[21] Kemudian lahirlah sejumlah ulama yang tidak terikat pada ketentuan dua kelompok tersebut, seperti Al-Rowiyaani (502 H) –pengarang Al-Bahru- , Al-Syaasyi (505 H) –pengarang Al-Hilyah-, Ibn Al-Shobbagh (477 H) yang asalnya adalah kelompok Iroqiyyin; dan Al-Mutawally (448 H) – pengarang Al-Tatimmah-, Imam Al-Haromain, Al- Gozali (505H) dan lain-lain dari kelompok Al-Khurosaaniyyun yang keluar dari ketentuan dua kelompok tersebut diatas.[22] Kemudian muncul generasi berikutnya yang mencoba mempersatukan dua kelompok diatas –Al-Iroqiyun dan Al-Khurosaaniyun- yang di motori oleh dua ulama terkenal: Al-Rofi’i (623 H) dan An-Nawawi (676 H), yang sangat besar andilnya bagi penjernihan madzhab Syafi’i dan qoidah-qoidahnya.Dengan munculnya dua ulama tersebut, perkembangan madzhab Syafi’i memasuki babak baru, “Phase Pemurnian Madzhab”. [1] Dalam kenyataannya, madzhab-madzhab Fiqh banyak sekali jumlahnya, hanya saja yang mashur dan tumbuh sampai saat ini ada 4 madzhab, itupun dari kelompok SUNNY. [2] Imam Abu Hanifah wafat ditahun dimana Imam Syafi’I dilahirkan (tahun 150 H). [3] Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad th.198 H. dan masuk Mesir th. 199 H; ada pendapat bahwa Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad th. 199 H. dan masuk Mesir th. 200 H. Lihat:Al-Majmu’:1/9; Miftah as-Sa’adah : 2/225. [4] Thuhfah : 1/554; Mughnil Muhtaj: 1/12; Hasyisah Syarqowi : 1/54. [5] Nihayah : 1/50. [6] Thobaqot Fuqoha’ (al-Syirozi) : 97-98; Hasyiyah Syarwani ‘ala Al-Thuhfah 1/54; Al- Majmu’ : 1/68; Mugnil Muhtaj 1/12. [7] Al-Madzhab Inda Syafi’iyah, 29. [8] Al-Majmu’ 1/66; Al-Tuhfah 1/54; An-Nihayah 1/50. [9] Al-Majmu’ 1/66; Hasyiyah Syarwani 1/54. [10] Al-Majmu’ 1/66. [11] Nuzhah Musytaq Syarh A-Lumma’ 817; Al-Majmu’ 1/67. [12] Al-Majmu’ 1/68-69. [13] Thobaqot Fuqoha’ (Asy-Syirozi) : 98. [14] Ahmad bik Al-Husaini, Daf’ul kholayat, 4. [15] Al-Husaini, Thobaqot Asy-Syafi’iyyah : 21. [16] Al-Majmu’ : 1/72. [17] Thobaqot Fuqoha’ : 109; Al-A’lam bit-Taubih : 190. [18] Al-A’lam bit-Taubih :189. [19] Al-A’lam bit-Taubih :189. [20] Daf’u Al-Khoyaalaat : 5. [21] Al-Majmu’ : 1/69. [22] Thobaqot Al-Syafi’iyah : 142-143.

0 komentar:

Posting Komentar